Dalam buku yang menjadi fokus perhatian adalah sejarah sastra Indonesia, yakni hal-hal
yang berkaitan dengan sastrawan pada dasawarsa 1960-an sejak Lekra berdiri pada 17
agustus 1950, politik masuk demikian dalam ketubuh sastra Indonesia pada 1960-an
mengkristalkan menjadi empat kelompok, yakni sastrawan Lekra, sastrawan Manikebu, sastrawan yang
berafiliansi pada partai politik, dan sastrawan Independen.
Dari empat kelompok itu, perseteruan meruncing menjadi dua kelompok,
yakni kubu sastrsawan Lekra yang mengusung paham realisme sosialis dan konsep “seni untuk rakyat” dan kubu sastrawan Maningkebu yang
mengusung pahan humanis universal dan konsep
“seni untuk seni”,
dua kelompok yang lain cenderung bersimpati pada sastrawan Maningkebu.
Pada 1995, terbit sebuah buku yang cukup penting di
bidang sastra, yakni Prahara Budaya
:Kilas Balik Offensi Lekra / PKI dkk (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah) yang
disusun oleh D.S Moeljanto dan Taufiq Ismail. Buku yang
diterbitkan oleh Mizan dan Republika ini dikatakan cukup penting karena berisi dokumen-dokumen sejarah sastra
Indonesia pada 1960-an yang
sangat tabu untuk dibicarakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Peristiwa sejarah tersebut dibaca dari perspektif pelaku sejarah dari kubu sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang
menempatkan sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) sebagai tokoh antagonis. Tokoh protagonisnya,
tentu saja sastrawan Maningkebu.
Pada 2002, majalah sastra Horison bekerjasama dengan
The Ford Fundation menerbitkan antologi sastra Horison Sastra
Indonesia dalam empat jilid, yakni
-Kitab Puisi
-Kitab Cerita Pendek
-Kitab Nukilan Novel dan
-Kitab Drama.
Dalam keempat buku tersebut banyak sekali karya sastrawan Lekra
yang tidak dimuat. Ada dua kemungkinan kenapa hal itu terjadi. Pertama, dimasa Orde Baru,
semua karya sastra yang diproduksi oleh sastrawan Lekra dilarang,
sehingga penyusun kesulitan mendapatkan bahan-bahan tersebut. Kedua, semua editor
buku ini, yakni Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Herri Dim, Agus R. Sarjono, Joni
Ariadinata, Jamal D Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar adalah mereka
yang pernah kerja atau bekerjasama dengan majalah Horison yang notabene adalah majalah
yang didirikan oleh sastrawan Maningkebu, yang sampai saat ini masih belum bisa
“menerima” sastrawan Lekra.
Kalau kita perhatikan secara sekilas,
tampak nyakeduakubusastrawanitusudahmendapatkanhakbersuara yang sama. Tampaknya
di era reformasiini, berbagai pihak mendapatkan kebebasan yang
sama untuk mengekspresikan gagasannya, meskipun gagasan tersebut saling berlawanan.
Sepertinya kita sudah bisa menerima berbagai perbedaan pendapat.Tapi kalau kita teliti lebih dalam,
ternyata faktanya tidak demikian. Buku yang diproduksi oleh sastrawan Manikebu bisa didistribusikan keruang publik secara bebas,
hingga sampai ke perpustakaan-perpustakan sekolah. Sementara buku yang
diproduksi oleh anak muda, yang
katakanlah berafiliasi dengan sastrawan Lekra tidak bisa didistribusikan secara leluasa. Toko buku terbesar
di Indonesia, GRAMEDIA
, mengembalikan buku yang
menyuarakan sastrawan Lekra itu kepada penerbitnya hanya satu hari setelah buku tersebut dipajang.
Pada zaman Orde Lama, tepatnya pada tanggal 8
Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manikebu, karena dianggap kontrarevolusi. Karya sastra
yang dihasilkan sastrawan Manikebu dilarang beredar. Akan tetapi, di zaman Orde Baru pada era
Presiden Soeharto karya sastra yang
diproduksi oleh sastrawan-sastrawan Manikebu diperbolehkan terbit kembali dan bisa beredar bebas,
sebaliknya karya sastra yang diproduksi oleh sastrawan-sastrawan Lekra dilarang beredar.
Dan ini terjadi selama 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru
.dampaknya sudah terbaca dengan jelas, bahwa dalam buku sejarah sastra Indonesia yang
dipelajari di sekolah-sekolah dasar hingga perguruan tinggi,
tidak kita kenal lagi karya sastra yang diproduksi oleh sasstrawan Lekra. Dapat dikatakan buku-buku sejarah sastra kita selama ini masih bersifat Hemogoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar