Di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Kabupaten Banggai
pernah berdiri kerajaan-kerajaan kecil. Yang tertua bernama Kerajaan
bersaudara Buko – Bulagi. Letak Kerajaan Buko – Bulagi berada di Pulau
Peling belahan barat. Kemudian muncul kerajaan-kerajaan baru seperti,
Kerajaan Sisipan, Kerajaan Liputomundo, dan Kadupang. Semuanya berada di
Pulau Peling bagian tengah, (sekarang Kecamatan Liang). Sementara di
bagian sebelah timur dari Pulaua Peling (sekitar Kecamatan Tinangkung
dan Totikum) waktu itu sudah berdiri sebuah kerajaan yang agak besar,
yakni Kerajaan Bongganan.
Upaya untuk memekarkan Kerajaan Bongganan dilakukan pangeran dan
beberapa bangsawan kerajaan akhirnya membuahkan hasil. Bila sebelumnya
wilayah Kerajaan Banggai hanya meliputi Pulau Banggai, kemudian dapat
diperlebar.
Di Banggai Darat (Kabupaten Banggai), waktu itu sudah berdiri
Kerajaan Tompotika yang berpusat di sebelah utara (Kecamatan Bualemo).
Dibagian selatan ada kerajaan tiga bersaudara Motiandok, Balalowa dan
Gori-Gori.
Perkembangan Kerajaan Banggai yang ketika itu masih terpusat di Pulau Banggai, mulai pesat dan menjadi
Primus Inter Pares
atau yang utama dari beberapa kerajaan yang ada, sewaktu pemerintahan
Kerajaan Banggai berada dibawah pembinaan Kesultanan Ternate akhir abad
16.
Wilayah Kerajaan Banggai pada tahun 1580-an hanya meliputi Pulau
Banggai, kemudian diperluas sampai ke Banggai Darat, hingga ke Tanjung
Api, Sungai Bangka dan Tongung Sagu yang terletak di sebelah Selatan
Kecamatan Batui. Perluasan wilayah Kerajaan Banggai dilakukan oleh Adi
Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa pad abad ke 16. Istilah
“Mumbu Doi” berarti yang wafat atau mangkat, khusus dipakai untuk raja-raja Banggai atau yang tertinggi derajatnya.
Adi Cokro merupakan seorang bangsawan dari Pulau Jawa yang
mengabdikan diri kepada Sultan Baab-Ullah dari Ternate. Di tangan Adi
Cokro kerajaan-kerajaan Banggai mampu dipersatukan hingga akhirnya ia
dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai. Adi Cokro tercatat pula
sebagai orang yang memasukan agama Islam ke Banggai. Hal tersebut
sebagaimana ditulis Albert C.Kruyt dalam bukunya
De Vorsten Van Banggai (Raja-raja Banggai).
Adi Cokro bergelar Mumbu Doi Jawa, yang dalam dialeg orang Banggai
disebut Adi Soko, mempersunting seorang wanita asal Ternate berdarah
Portugis bernama Kastellia (Kastella). Perkawinan Adi Cokro dengan
Kastellia melahirkan putra bernama Mandapar yang kemudian menjadi Raja
Banggai. Istilah
“Adi” merupakan gelar
bangsawan bagi raja-raja Banggai, hal tersebut sama dengan gelar RM
(Raden Mas) untuk bangsawan Jawa atau Andi bagi bangsawan Bugis.
Karena Kerajaan Banggai dikuasai oleh Kerajaan Ternate, sementara
Kerajaan Ternate ditaklukan Bangsa Portugis, otomatis Kerajaan Banggai
berada dibawah kekuasaan Bangsa Portugis. Bukti, itu setidaknya dapat
dilihat dengan ditemukannya sisa-sisa peninggalan Bangsa Portugis di
daerah ini diantaranya meriam kuno atau benda peninggalan lainnya.
Tahun 1532 P.A. Tiele pernah menulis dalam bukunya De Europeers in
den Maleischen Archipel, di sana disebutkan, bahwa pada tahun 1532
Laksmana Andres de Urdanette yang berbangsa Spanyol dan merupakan
sekutu (kawan) dari Sultan Jailolo, pernah mengunjungi wilayah Sebelah
Timur Pulau Sulawesi (Banggai). Andres de Urdanette merupakan orang
barat pertama yang menginjakkan kaki di Banggai. Sedang orang Portugis
yang pertama kali datang ke Banggai bernama Hernando de Biautamente
tahun 1596.
Tahun 1596 Pelaut Belanda yang sangat terkenal bernama Cornelis De
Houtman datang ke Indonesia. Menariknya, pada tahun 1594 atau dua tahun
sebelum datang ke Indonesia Cornelis de Houtman sudah menulis tentang
Banggai.
Ketika Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa, kembali ke tanah Jawa
dan wafat di sana, tampuk Kerajaan Banggai dilanjutkan oleh Mandapar
dengan gelar Mumbu Doi Godong. Mandapar dilantik sebagai raja Banggai
pada tahun 1600. di Ternate oleh Sultan Said Uddin Barkat Syah.
Tahun 1602 Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan Vereeniging
Oost Indische Compagnie (VOC) yang merupakan Kongsi Dagang Belanda untuk
perdagangan di Hindia Timur (Indonesia).
Kesaksian salah seorang pelaut bangsa Inggris bernama David
Niddelleton yang pernah dua kali datang ke Banggai menyebutkan. Pengaruh
VOC di Banggai sudah ada sejak Raja Mandapar memimpin Banggai.
Kerajaan Banggai pernah dikuasai Ternate. Namun setelah Kerajaan Ternate
dapat ditaklukkan dan direbut oleh Sultan Alauddin dari Kerajaan Gowa
(Sulawesi Selatan) maka Banggai ikut menjadi bagian dari Kerajaan Gowa.
Dalam sejarah tercatat Kerajaan Gowa sempat berkembang dan mempunyai
pengaruh yang sangat besar dan kuat di Indonesia Timur.
Kerajaan Banggai berada di bawah pemerintahan Kerajaan Gowa
berlangsung sejak tahun 1625-1667. Pada tahun 1667 dilakukankah
penjanjian Bongaya yang sangat terkenal antara Sultan Hasanuddin dari
Kerajaan Gowa dengan Laksamana Speelman dari Belanda. Isi dari
perjanjian itu antara lain menyebutkan. Sultan Hasanuddin melepaskan
semua wilayah yang tadinya masuk dalam kekuasaan Kerajaan Ternate
seperti, Selayar, Muna, Manado, Banggai, Gapi (Pulau Peling), Kaidipan,
Buol Toli-Toli, Dampelas, Balaesang, Silensak dan Kaili.
Pada saat Sultan Hasanuddin memimpin ia berulang kali melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit
melawan Belanda. Bentuk perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata
memberikan pengaruh tersendiri bagi Raja Banggai ke-4, yakni Raja
Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak (1681-1689) hingga Mbulan
memberontak terhadap Belanda.
Sebenarnya Mbulang Doi Balantak menolak untuk berkongsi dengan VOC
lantaran monopoli dagang yang diterapkan Belanda hanya menguntungkan
Belanda sementara rakyatnya diposisi merugi. Tapi apa hendak dikata.
Karena desakan Sultan Ternate yang menjadikan Kerajaan Banggai sebagai
bagian dari taklukkannya, dengan terpaksa Mbulang Doi Balantak tidak
dapat menghindar dari perjanjian yang dibuat VOC (Belanda).
Tahun 1741 tepatnya tanggal 9 Nopember perjanjian antara VOC dengan
Mbulang Doi Balantak diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mumbu
Doi Bacan. Meski perjanjian telah diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi
secara sembunyi-sembunyi Abu Kasim menjalin perjanjian kerjasama baru
dengan Raja Bungku.itu dilakukan Abu Kasim dengan target ingin
melepaskan diri dari Kerajaan Ternate. Langkah yang ditempuh Abu Kasim
ini dilakukan karena melihat beban yang dipikul rakyat Banggai sudah
sangat berat karena selalu dirugikan VOC. Tahu Raja Abu Kasim menjalin
kerjasama dengan Raja Bungku, akhirnya VOC jadi berang (marah). Abu
Kasim lantas ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan (Maluku Utara), hingga
akhirnya meninggal di sana.
Usaha Raja-Raja Banggai untuk melepaskan diri dari belenggu Kerajaan
Ternate berulang kali dilakukan. Dan kejadian serupa dilakukan Raja
Banggai ke 9 bernama Atondeng yang bergelar Mumbu Doi Galela
(1808-1829). Serupa dengan raja-raja Banggai sebelumnya, Atondeng juga
melakukan perlawanan kepada Kesultanan Ternate. Sebenarnya perlawanan
Atondeng ditujukan kepada VOC (Belanda). Karena Atondeng menilai
perjanjian yang dibuat selama ini hanya menguntungkan Hindia Belanda dan
menjepit rakyatnya. Karena itulah Atondeng berontak. Karena perlawanan
Atondeng kurang seimbang. Atondeng kemudian ditangkap dan dibuang ke
Galela (Pulau Halmahera).
Setelah Atondeng
“dibuang” ke Halmahera, Kerajaan Banggai
kemudian dipimpin Raja Agama, bergelar Mumbu Doi Bugis. Memerintah tahun
1829-1847. Raja Agama sempat melakukan perlawanan yang sangat heroik
dalam perang Tobelo yang sangat terkenal. Tetapi karena Kerajaan
Ternante didukung armada laut yang
“modern” akhirnya mereka berhasil mematahkan perlawanan Raja Agama. Pusat perlawanan Raja Agama dilakukan dari “
Kota Tua”
Banggai (Lalongo). Dalam perang Tobelo, Raja Agama sempat dikepung
secara rapat oleh musuh. Berkat bantuan rakyat yang sangat
mencintainya, Raja Agama dapat diloloskan dan diungsikan ke wilayah
Bone Sulawesi Selatan, sampai akhirnya wafat di sana tahun 1874.
Setelah Raja Agama hijrah ke Bone, sebagai pengganti munculah dua
bersaudara Lauta dan Taja. Kepemimpinan Raja Lauta dan Raja Taja tidak
berlangsung lama. Meski hanya sebentar memimpin tetapi keduanya sempat
melakukan perlawanan, hingga akhirnya Raja Lauta dibuang ke Halmahera
sedang Raja Taja diasingkan ke Pulau Bacan, Maluku Utara.
Dalam Pemerintahan Kerajaan Banggai, sejak dulunya sudah dikenal
sistem demokrasi. Dimana dalam menjalankan roda pemerintahan raja akan
dibantu oleh staf eksekutif atau dewan menteri yang dikenal dengan
sebutan komisi empat, yaitu :
1. Mayor Ngopa atau Raja Muda
2. Kapitan Laut atau Kepala Angkatan Perang
3. Jogugu atau Menteri Dalam Negeri
4. Hukum Tua atau Pengadilan
Penunjukkan dan pengangkatan komisi empat, dilakukan langsung oleh
raja yang tengah bertahta. Sementara badan yang berfungsi selaku
Legislatif disebut Basalo Sangkap. Terdiri dari Basalo Dodonung, Basalo Tonobonunungan, Basalo Lampa, dan Basalo Ganggang.
Basalo Sangkap diketuai oleh Basalo Dodonung, dengan tugas melakukan
pemilihan setiap bangsawan untuk menjadi raja. Demikian pula untuk
melantik seorang raja dilakukan dihadapan Basalo Sangkap.
Basalo Sangkap yang akan melantik raja, lalu akan meriwayatkan secara
teratur sejarah raja-raja Banggai. Berurut, kemudian disebutkanlah
calon raja yang akan dilantik, yang kepadanya dipakaikan mahkota
kerajaan. Dengan begitu, raja tersebut akan resmi menjadi Raja Kerajaan
Banggai.
Silsilah raja-raja Banggai disebutkan sebagai berikut : 1. Mandapar
dengan gelar Mumbu Doi Godong, 2. Mumbu Doi Kintom, 3. Mumbu Doi
Balantak, 4. Mumbu Doi Benteng, 5. Mumbu Doi Mendono, 6. Abu Kasim, 7.
Mumbu Doi Pedongko, 8. Manduis, 9. Atondeng, 10. Agama, 11.Lauta,
12.Taja, 13.Tatu Tanga, 14. Saok, 15. Nurdin, 16.Abdul Azis, 17. Abdul
Rahman, 18. Haji Awaluddin, 19. Haji Syukuran Aminuddin Amir.
SEBELUM KEMERDEKAAN :
Meski kehadiran Vereeniging Oost Indische Compagnie (VOC) atau
gabungan perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Belanda
(Indonesia) di Indonesia sudah ada sejak tahun 1602, tetapi peranan VOC
dalam monopoli perdagangan di Wilayah Kerajaan Banggai baru diakui pada
zaman Kerajaan Banggai dipimpin Raja Nurdin yang berkuasa tahun
1870-1880.
Tahun 1908 Landschaap Banggai digabung dengan Onderploging yang
berkedudukan di Bau-Bau, Pulau Buton (Bau). Empat tahun berikutnya
Onderploging yang berkedudukan di Bau-Bau, dipecah menjadi dua bagian,
meliputi Banggai Darat dan Banggai Kepulauan, masing-masing berkedudukan
di Luwuk dan Banggai. Meski demikian Raja Banggai dan pemerintah Hindia
Belanda tetap berada di Banggai.